Tagar yang menjadi judul tulisan ini dipelopori oleh Imparsial sebuah lembaga bantuan hukum yang konsen terhadap urusan HAM, tagar itu muncul sebagai bentuk respon terhadap kebijakan pemerintah terkait RUU KPK.
Rancangan Undang-Undang tersebut dianggap sebagai bentuk pelemahan terhadap KPK terkait tugasnya sebagai satu satunya lembaga yang dibentuk untuk fokus memberantas korupsi.
Ironis memang, karena ditinjau dari sejarahnya reformasi adalah cara yang kita pilih sebagai bangsa untuk menghentikan rezim korup pada masa ORBA. Tetapi pada waktu itu, mungkin hanya beberapa orang/pejabat yang terbukti korup, sedangkan hari ini? Sudah berapa banyak pejabat yang terbukti korup? Bahkan disetiap lapisan pasti ada tindakan KKN.
Maka akhrinya dibentuk KPK sebagai bentuk respon terhadap tindakan menyimpang para pemegang wewenang tersebut, dengan beberapa keistimewaannya KPK membuktikan sedikit demi sedikit mampu memberantas korupsi.
Nah dari beberapa keistimewaannya ini memang ada beberapa poin yang perlu diperbaiki, contohnya terkait kebebasan penyadapan tanpa SOP yang jelas, bagaimana jika ada percakapan pribadi yang tak ada sangkut pautnya dengan proses penyelidikan serta tak pantas di dengar oleh pihak lain, hal ini rasa rasanya memang harus diperbaiki dan diatur.
Begitu juga terkait penetapan tersangka, dengan aturan memiliki 2 alat bukti harusnya setiap menetapkan seseorang sebagai tersangka harusnya KPK juga sudah menyelesaikan proses pemberkasan untuk dilimpahkan ke pengadilan, tapi mengapa masih ada yang sudah berstatus tersangka, tp belum juga ada keputusan. Hidupnya yang bersangkutan dibuat tidak nyaman karena hal itu.
Untuk beberapa poin itu mungkin butuh adanya revisi, tetapi yang jadi masalah hari ini adalah bagaimana cara yang ditempuh para pejabat terkait untuk merevisi undang-undang tersebut.
Mungkin poin poin yang saya sebutkan tadi memang butuh direvisi, tapi jelas disana harusnya ada perdebatan panjang untuk mendapatkan solusi paling pas agar undang undang tersebut dapat diterima oleh semua kalangan dan kecurigaan public tentang pelemahan KPK tidak benar adanya.
Bagaimana bisa dalam waktu 13 hari sisa waktu anggota DPR menjabat mampu menyelesaikan permasalahan rumit seperti yang di KPK ini, belum lagi gosip bahwa ada cacat prosedural terkait quorum peserta sidang penetapan RUU tersebut.
Jadi yang dimaksud tagar tersebut adalah, memang benar kita negara demokratis. Semua berdasarkan suara mayoritas, akan tetapi tak ada dalil yang membenarkan boleh melakukan kesalahan asal bersama sama!!
Maka dari itu mungkin sudah waktunya kita melihat cara jepang. Jika di Indonesia mulai terlihat gejala gejala oligarki, jepang punya solusinya. Untuk mengakhiri oligarki kita harus restorasi.
Ditulis Oleh: Zainuddin A. Albar S.pd., M.H. (Akademisi)