MATABLITAR.COM– Ini tentang janda sebatang kara, sendiri menempati sebuah rumah kosong, karena ditinggal pemiliknya lama di luar negri. Rumah sederhana yang terlihat kokoh dari luar, namun di dalamnya seperti kapal terbang yang jatuh dari atas awan, begitu hancur dan berantakan.
Beberapa sudut temboknya mulai retak dan ditumbuhi lumut, kayu atap banyak yang patah oleh rayap disana – sini, gentingnya pun berjatuhan, membuat air hujan bebas mengalir ke dalam rumah. Belum lagi terlihat sampah berserakan, juga baju dan kain – kain lusuh berceceran dimana mana.
Adalah ibu Tarsih, sendiri menempati rumah itu, sulit dibayangkan betapa kesepiannya, ditambah lagi penyakit diabetes yang telah lama di deritanya, selain itu beberapa tahun belakangan wanita tua itu juga kehilangan pengelihatannya karena katarak, dan yang terahir ia sering terlihat ngomong sendiri, stres kata para tetangganya.
Baca Juga : PAIJO DAN COVID-19
Rumah kosong yang di tempati Bu Tarsih, adalah termasuk daerah pemukiman padat penduduk, sebelah kanan kiri depan dan belakang merupakan rumah – rumah warga. Namun tak satupun warga ataupun tetangga yang iba terhadap Bu Tarsih. Melainkan hanya Mak Yem, tetangga yang tiap hari memberinya makan.
Bu Tarsih sebenarnya tidaklah sebatangkara di kampung itu, karena sebenarnya ada famili bahkan saudara kandungnya juga bermukim di lingkungan itu, namun para kerabat nya itupun tak ubahnya seperti tetangga – tetangga yang lain, acuh tak mau peduli dan mengganggap orang yang bernama Tarsih itu tidak ada.
Dalam kondisi Bu Tarsih yang seperti itu, suami siri nya telah meninggalkan nya, dan menikah lagi tanpa kabar berita. Anak lelaki satu satunya yang telah beristri juga tak mau tau dengan kondisi ibunya itu, seakan ia tak pernah kenal, atau malah berusaha memotong garis keturunan dari ibunya, karena malu mempunyai ibu yang dianggap ‘gila’ oleh banyak orang.
Tiba tiba dadaku terasa sesak, hati kecilku perih dan merintih, fenomena apa ini Tuhan?, Tanya jiwaku penuh haru. Bagaimana ada anak yang abai terhadap ibunya, suaimi yang meninggalkan istri begitu saja, sanak keluarga tak menganggap keberadaannya, serta para tetangga yang hilang kemanusiaannya.
Membayangkan saja rasanya aku tak sanggup, perempuan setua itu sendiri menghadapi beban hidup yang bertumpuk tumpuk. Ditambah lagi kehidupannya yang ditiadakan oleh mata – mata penuh keangkuhan. Tongkat ditangan yang selalu membantunya mencari jalan adalah saksi bisu, bahwa ada hak manusia yang telah di nistakan oleh sebagian manusia yang lain.
Tanpa sadar air mataku meleleh, deras bak banjir bandang, nafasku mulai gak beraturan. Tenggorokanku seperti tersengat listrik, ngilu dan perih. Kutahan dengan sepenuh daya yang ku punya, agar tangisku tak pecah. Wajah ibuku yang telah tiada tiba – tiba muncul dalam benakku, wajahnya pucat, tanpa kata dan suara, hanya senyum tipis seakan ingin menenangkan aku.
Namun tangisku malah meledak seperti letusan gunung merapi, kegagahanku tak kuat menahan lagi, antara rindu dengan sosok perempuan yang telah membesarkanku, dan perasaan sesal bercampur aduk jadi satu, kenapa ia cepat pergi saat aku belum cukup bisa berbakti.
Dalam keprihatinanku yang masih berkecamuk, aku teringat kata Mbah Min suaminya Mak Yem, mereka adalah pasangan suami istri yang sudah berusia lanjut, dan tidak memiliki anak. Rumahnya terbuat dari anyaman bambu, berjarak sekitar 150 meter dari tempat Bu Tarsih.
Apa yang dialami Bu tarsih saat ini, kata Mbah Min, adalah buah dari semua yang sudah dilakukannya di masa lalu, “semacam karma” tuturnya yang kemudian menghela nafas panjang, kata kata nya terhenti, wajahnya yang keriput itu seakan ingin bercerita banyak hal, namun gamang akan memulainya dari mana. Ia ambil secangkir kopi hitam di depannya, disruputnya pelan – pelan, kemudian ia nyalakan rokok vaforitnya, tengwe dari tembakau grewol yang di kasih bumbu cengkeh pakde ayem.
Di masa mudanya, kata Mbah Min, Bu Tarsih itu termasuk perempuan cantik rupawan, hampir semua lelaki yang pernah bertemu pasti jatuh hati padanya. Namun dibalik kecantikannya itu, ada sifat tidak baik dalam dirinya, seperti suka merendahkan orang lain.
Dulunya, Bu Tarsih termasuk keluarga kaya raya, bahkan mungkin paling kaya sekampung, rumahnya bagus, lahan persawahannya juga luas, punya beberapa mobil pribadi, perhiasan emas juga tak sedikit berkilauan di leher dan tangannya.
Meskipun tergolong orang yang berlebih dalam hal harta, namun Bu Tarsih bukan termasuk orang yang dermawan, bahkan kata Mbah Min ibu itu sangat pelit sekali, peribahasanya kalau menggenggam air pastinya tidak akan menetes.
Dalam kesehariannya, bu Tarsih sangat individual, tidak suka bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, bahkan sikap dan kata katanya sering menyakiti para tetangga, seakan dia menganggap semua orang tidak level dengan dirinya.
Sedangkan para kerabat dan saudara kandungnyapun banyak yang tidak suka dengan Bu Tarsih. Karena sifat yang semaunya sendiri, dan sulit diajak dialog serta di beri nasihat oleh famili familinya.
Kini saat semuanya berbalik, entah tepatnya karena apa, semua harta benda bu Tarsih habis terjual, tak satupun harta kekayaan yang masih dimilikinya. Suami serta anaknya juga meninggalkannya.
Baca Juga: Kenapa Fanatik Kopi dan Rokok?
Para tetangga dan sanak famili seakan bertepuk tangan, atas kondisi yang dialami bu Tarsih, miskin sakit dan sebatang kara. Tak ada lagi yang disombongkan atas kekayaannya, pun juga tak ada lagi yang bisa di banggakan atas kecantikannya.
Mungkin ini cara Tuhan mengingatkan bu Tarsih, sekaligus pelajaran bagi semua, bahwa semua yang dimiliki sejatinya hanyalah titipan, dan sewaktu waktu bisa atau akan diambil oleh sang Maha memiliki. Sehingga menyadari hal itu akan menjauhkan seseorang dari kesombongan atas nikmat.
Terlepas dari karma dan atau apalah namanya yang sedang menimpa Bu Tarsih, bukankah membalas keburukan dengan keburukan adalah sesuatu yang sama – sama buruk ?!?. Rasa kemanusiaan mestinya tetap memanusiakan manusia, meski seberapapun kesalahan yang dilakukan manusia, ia tetaplah ciptaan sang Maha Pencipta.
“Monggo diunjuk kopine, Iki kopi petik Purnama, digoreng kreweng mung campuri beras sitik. Luweh enak di com gak katek gulo” tutur Mbah Min membuyarkan lamunanku.
Penulis : Putut Dairobi
(Pendamping Sosial Program Keluarga Harapan Kab. Blitar)