MATABLITAR.COM– Hari ini, 17 April 2020 PMII kembali merayakan hari lahir yang ke-60. Catatan sejarah menyebutkan hari lahir PMII bertepatan pada hari Minggu, 17 April 1960/21 Syawwal 1379 Hijriyah di Surabaya. Organisasi yang diketuai pertama kali oleh Mahbub Djunaidi telah berjalan mewarnai perjalanan masyarakat Indonesia yang kompleks. Dari masyarakat biasa sampai kepada masyarakat luar biasa dan atau biasa di luar.
01 Nopember 2010 penulis dikenalkan kepada organisasi anak kandung NU melalui Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA). Pada saat itu, tuntutan untuk berpikir kritis-transformatif serasa menjadi fardu ‘ain bagi pemeluknya. Kegiatan yang disuguhkan tidak pernah lepas dari pengenalan PMII, diskusi kebangsaan, disukusi buku hingga ke ajang penulisan. Pada waktu itu, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dengan nama-nama tokoh Islam dari setiap kelompok.
Menariknya, dari masing-masing kelompok sengaja diadu argument pada setiap sesi diskusi. Sehingga penyaringan kader secara virtual dan alami akan hadir dengan sendirinya. Mereka (baca: Kader) secara tidak langsung terpetakan di beberapa pos, diantaranya Pos Kajian Opini Publik, Pos Kepenulisan, Pos Kesusastraan dan lain sebagainya. Pos-pos itulah yang kemudian mencetak kader untuk berpikir heterogen.
Karena PMII merupakan anak kandung NU, tak heran jika menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr. Pijakan pemikiran yang bagi penulis sangat demokratis. PMII memandang bahwa pengamal Aswaja adalah orang-orang dengan metode berpikir mencakup ke seluruh sendi-sendi kehidupan. Tentu melalui asas moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi. Dalam hal ini, Aswaja bukanlah sebuah madzhab, melainkan metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persolan-persoalan agama sekaligus persoalan sosial-kemasyarakatan; inilah kemudian yang penulis pandang Aswaja sebaga manhaj al-fikr.
Sebagai manhaj al-fikr, PMII selalu berpegang teguh kepada prinsip tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul (adil/netral), dan tasamuh (toleran). Baik, mari kita bahas satu persatu dari keempat prinsip tersebut. Pertama, Moderat tercermin pada pegambilan (isntinbath) hukum; memperhatikan porsi seimbang antara rujukan nash (al-qur’an dan al-hadist) dengan penggunaan akal. Seingat penulis, prinsip ini merujuk pada perdebatan dua golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis (jabariyah) di awal-awal masehi.
Kedua, ta’adul (adil) merupakan sikap yang harus dipegang bagi siapapun baik dalam segala hal maupun dalam berpolitik. Qur’an surah An-Nisa (4: 58) telah menyatakan “Sesungguhnya kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” Lebih dalam lagi, PMII mendefinisikan adil sebagai sikap netral dalam berpolitik. Dalam artian, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Oleh sebab itu, Aswaja dan PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan dari sebuah pemerintahan yang disepakati bersama. Namun juga tidak berarti mendukung sebuah pemerintahan. Pada hakikatnya, sikap netral tersebut sejatinya memperhatikan bagaimana kehidupan sosial-politik berjalan sesuai dengan kaidah atau tidak.
Pada prinsip Ketiga (keseimbangan/tawazun) dan Keempat (toleran/ tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial. Baik di aspek cara bergaul antar dan sesama agama hingga ke akulturasi. Dengan kata lain, warga PMII dalam menyikapi kemajemukan masyarakat Indonesia yang tidak hanya plural dari sisi etnis, budaya, idiologi politik dan agama, kita akui bukan hanya semata-mata realitas sosiologis, namun juga realitas teologis. Artinya, dengan sengaja Allah menciptakan manusia berbeda-beda dalam segala sisinya. Dan karena itu, tidak ada sikap tepat selain dihadapi dengan ta’adul dan tasamuh. Dari sini, akan tercipta nuansa tawazun yang berciri khas baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.
Baik, keempat nilai dasar pergerakan di atas merupakan hasil review saat menyelami PMII yang hingga saat ini nyaris 10 tahun silam. Penulis sangat yakin bahwa sampai kapanpun idiologi PMII tidak akan berubah. Bahkan, hal ihwal tersebut telah menjadi sebuah tradisi. Untuk mengembangkanya, perlu upaya upgrading kaderisasi sesuai dengan bakat minat masing-masing. Sebab seyogianya penulis sangat sepakat terhadap penyampaian sahabat Muhammad Rodli Kaelani (Ketua Umum PB PMII ke-XIV periode 2008-2011) yang dikutip oleh Muhammad Rafly Setiawan (Koord. Kaderisasi dan Keilmuan, PC. PMII Kota Palopo), “jika hanya maknai hari lahir PMII dengan biasa-biasa saja, maka berkhidmat di PMII di hari-hari selanjutnya hanya biasa-biasa saja, dan pasca alumni menata kehidupan cukup menjadi manusia biasa. Sebaliknya, jika dimaknai hari lahir PMII dengan luar biasa, maka berkhidmat di Pergerakan maupun pasca alumni akan menjadi manusia luar biasa dan menata kehidupan sosial dengan penuh kemanfaatan”.
Jadi, sudah sewajarnya sebagai warga PMII tidak melulu memaknai harlah sebagai hal biasa. Karena jarang ditemui sebuah prestasi hadir dari otak tanpa isi, atau dari kehidupan tanpa sugesti. Tidak perlu menyalahkan salah satu senior yang kadang tidak kita sukai dalam hal mendidik. Salah satu contoh, saat penulis masih di bangku kuliah, tidak jarang senior selalu memberikan waktu untuk menjadi penyaji dalam diskusi. Dengan waktu “dadakan” dan pasti serba todongan. Rasa kesal karena ketidak siapan; akibat kekosongan otak justru sering menghantui saat diskusi berlangsung. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menyerah pada kenyataan, serta menuntut kinerja otak supaya berpikir keras dan berpikir cerdas.
Memang, penulis akui, saat menjadi kader—cenderung menyalahkan senior. Karena sejatinya penulis tidak mengetahui substansi yang didapat saat beralih posisi menjadi senior. Setidaknya dari tradisi “todongan” kepada kader, penulis bisa mengambil esensi bahwa kader PMII harus siap pakai dan lebih-lebih bisa dalam segala hal. Di harlah PMII yang ke-60 ini, penulis sangat berharap ada wajah baru dari sisi harokah PMII. Tidak hanya melulu menggalakkan kajian secara retorika saja, namun juga perlu memupuk kembali di aspek literasi. Bagaimanapun sang Founding Father PMII juga lihai dalam penulisan dan tidak apatis terhadap dunia pergerakan.
Mari kita bersama memaknai harlah tidak hanya sebatas teks, tapi lebih kepada konteks. Tanam pola pikir kontribusi apa yang akan disuguhkan ke organisasi. Bukan justru apa yang saya dapat dari organisasi. Buang egomo dalam perubahan, demi Agama, Bangsa dan Kenegaraan. Bersemilah PMII, tumbuh subur pergerakanku!
Dan untuk para muassis PMII, al fatihah…
Penulis : Moh. Azhari, M.H.
(Pernah di Koord. Pendidikan dan Kaderisasi PMII Guluk-Guluk,
dan hari ini sebagai Anggota IKA PMII Blitar)